Thursday, October 20, 2011
SALAM 'SONGKEM' DARI CAIRO (1)

UMMY

Ummy (ibu) kami bernama lengkap Masyrifah H. Anwar. Sesuai KTP-nya (mungkin juga ini tidak valid)beliau dilahirkan tahun 1962.

Tentu saja saya akan menempatkan beliau di urutan pertama. Bagi saya beliau bukan saja orang pertama dan utama tapi adalah wanita paling istimewa yang tidak ada nilai tandingnya. Seorang ibu yang tak hentinya menjadi inspirasi dalam hidup saya dan kami bersepuluh. Seorang wanita yang 'super-tegar' menghadapi berbagai permasalahan hidup yang pelik. Seorang yang tak hanya bisa bersandar diri pada takdir Allah (tawakkal) tapi juga mampu bangkit tuk mendapatkan hidup yang lebih baik.

Sulit dibayangkan di masa sekarang betapa seorang wanita dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah, menjalani masa kecil yang kurang membahagiakan, menikah di usia dini, melahirkan anak setiap dua tahun sekali selama dua puluh tahun dengan tingkat kesejahteraan di bawah rata-rata, kemudian ditinggal mati suami dan terpaksa menjadi single parent (orang tua tunggal) buat sepuluh anak-anaknya pada usia yang relatif muda. Bagi kami beliau benar-benar  ‘Masyrifah’:wanita yang mulya.


Masa Kecil dan ‘Desarmah

Umy bisa dikatakan tidak punya masa kecil yang beruntung. Dibesarkan dalam keluarga sangat sederhana  dengan anggota keluarga yang relatif banyak. Mata pencaharian penduduk di lingkungan desanya adalah petani tradisional yang hanya mengandalkan curah hujan hingga rawan paceklik (Madura:laep). Ditambah lingkungan desa pedalaman yang kotor menyebabkan banyak anak-anak seusianya yang mengidap penyakit kulit. Kalau musim kemarau makanan biasa waktu itu hanyalah nangka muda dan ketela pohong yang dicincang lalu direbus.

Menurut cerita beliau, ada waktu di mana abahnya sering menitipkan anak-anaknya pada keluarga yang lebih sejahtera (kebanyakan tinggal di Surabaya), hidup dan tinggal bersama orang-orang baru yang kemudian dianggap keluarga, sedang sang abah merantau mengadu nasib keluar daerah. Ummy beberapa kali pindah dari keluarga yang satu ke yang lainnya hingga akhirnya beliau belajar di pesantren (mondok) pada usia kira-kira 14 tahun.

Saperti kebanyakan wanita yang tinggal di desa pedalaman yang jauh dari sentuhan pembangunan, ummy tidak berkesempatan mengecap pendidikan yang layak. Cara berfikir orang tua di lingkungannya pada masa itu masih sangat konservatif (kolot). Anak perempuan tidak diperkenankan belajar di sekolah-sekolah negeri. Mereka hanya boleh belajar di pesantren (mondok), setelah dirasa bisa membaca al-Qur’an mereka dinikahkan dengan laki-laki yang sudah dipilihkan orang tuanya.

Beliau mondok di pesantren al-Badar, sebuah pesantren kecil tradisional di daerah Sidoresmo Surabaya. Sebagai anak yang tidak pernah mengecap pendidikan apapun sebelumnya, kehidupan pesantren terasa sangat asing bagi beliau. Beliau bercerita, di masa awal belajar pernah disuruh membaca al-Qur’an oleh gurunya tapi hanya berdiri mematung tanpa bereaksi sedikitpun meskipun sang guru sudah beberapa kali membentak menyuruh membaca.


Menikah Dini

Lingkungan dan masyarakat Parseh saat itu bisa dikatakan sangat tertutup. Tertutup untuk menerima pemikiran-pemikiran baru dan juga dari informasi baru. Sebagai wanita yang hidup dalam masyarakat tertutup ummy tumbuh menjadi wanita yang lugu dan penurut. Tidak genap setahun ummy belajar di pesantren, sang abah menikahkan dia dengan sepupunya sendiri yang bernama Ahmad Ali (kelak beliau memberi ummy 10 orang anak). Tidak ada pilihan lain bagi beliau saat itu kecuali menurut.

Jika dilihat dengan konteks masa sekarang, ummy menikah di usia yang dini; di usia belum genap 15 tahun. Orang tua masa itu (bahkan mungkin sampai saat ini) tentu saja tidak terlalu memikirkan masalah cinta karna bagi mereka cinta akan datang sendiri kalau sudah menikah. Sejauh ini, memang pemikiran seperti itu tidak ada salahnya, terbukti dari beberapa pasangan yang bisa bertahan meskipun dengan cara dijodohkan. Meskipun kita tidak bisa memastikan apakah yang membuat mereka bertahan itu karna cinta atau hal lainnya, hanya Allah yang paling mengetahui.

Ummy menikah dengan pemuda Ahmad, anak pertama pamannya sendiri, H. Ali. Sebagai anak pertama yang masih muda, dia masih suka keluar rumah tanpa pamit, berkumpul dengan teman-teman sebayanya di gardu pinggir jalan, nonton pagelaran musik di acara mantenan (orkes) dan pulang saat malam sangat larut. Seperti disebut di atas, ummy adalah istri yang lugu dan penurut. Beliau tidak sekalipun bertanya baik kepada suaminya atau mertuanya kemana suaminya sering keluar. Sampai saat suaminya menghilang tanpa pamit selama lebih dari dua bulan, beliau juga tidak pernah bertanya. Pada bagian mendatang akan diceritakan kemana H. Ahmad menghilang selama lebih dari dua bulan.


Hidup Yang Tidak Mudah

Bagi ummy hidup yang beliau jalani tidak pernah berjalan mudah dan menyenangkan. Hidup ini keras dan berliku penuh tanjakan. Tapi semua itu tidak pernah membuat beliau berputus asa ataupun mengeluh. Musibah yang terus menerus mendera bahkan semakin membuat beliau tegar dan arif. ‘Allah itu maha adil, apa yang Dia berikan buat kita itulah yang terbaik buat kita’, itu yang selalu ditanamkan ummy pada anak-anaknya.

Semenjak ditinggalkan oleh abah kami (pada 6 Mei 1996), ummy berjuang bertahan hidup tuk membesarkan dan mengasuh 10 anak-anaknya. Saat itu anak pertama dan keduanya (Nurul qomar dan Khairul Anam) sudah belajar di pesantren luar daerah sedangkan 8 sisanya masih di madrasah Ibtida’iyah di kampung sendiri. 
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya ummy berdagang dan berjualan. Pertama yang beliau lakukan adalah membeli freezer, membuat jajanan es dan camilan untuk anak-anak sekolah. Ide ini pertama kali diusulkan oleh H. Mahfudz, adik ipar beliau yang memang banyak membantu beliau. Karna menjadi orang pertama yang punya freezer di kampung kami, ‘bisnis’ kecil-kecilan ini berjalan bagus. Dari bisnis ini ummy bisa membayar biaya sekolah dan juga mengirimkan uang buat anaknya yang ada di pondok. Selain itu, ummy juga merenovasi rumah kami dengan bahan-bahan bangunan yang sudah dibeli oleh abah kami sebelum meninggalnya. Saya masih ingat, meskipun waktu itu musim kemarau panjang, ummy terpaksa melanjutkan rencana renovasi rumah karna khawatir bahan-bahan bangunan itu (bata dan kayu) akan rusak karna terlalu lama dibiarkan. Untuk urusan air, saya beserta teman-teman sebaya (Muzammil, Rushdi dan Ismail) mengambil air dari sumur ‘Jurghang’ (sekitar 1 KM di utara Parseh) dengan alat angkut sederhana yang kami sebut ‘gledek’. Biasanya kami berangkat jam 9 malam, bolak balik tiga kali sampai jam 3 malam dan kami lakukan itu dengan senang hati selama lebih dari satu bulan.


Kenapa Pesek?

Semua orang selalu memuji kesabaran ummy menghadapi cobaan dan juga kenakalan anak-anaknya. Hampir semua anak-anak ummy nakal di masa kecilnya, terbukti semuanya punya bekas luka di bagian bibir, kuping sampai dahi. Saya sendiri punya bekas luka yang sangat kentara di bagian dahi berbentuk kilatan. Ini adalah bekas luka tancapan gigi kakak sepupu (kak Badrun) ketika kami sedang bermain kejar-kejaran (benteng).
Selain itu saya pernah juga terjatuh dari pohon sawo dengan jarak ketinggian 13 meter, satu jarak tinggi yang bisa merenggut nyawa menurut perkiraan logika. Tapi alhamdulillah saya masih diberi kesempatan hidup sampai saat ini.

Hari itu hari Jum’at, ketika pengajian ibu-ibu muslimat di dekat rumah baru akan di mulai selepas Jum’atan. Saya naik pohon sawo itu di saat gerimis. Sejenak saya bisa melihat keindahan kampung Parseh dari puncak ketinggian ketika tiba-tiba terdengar cabang pohong yang patah. Saya merasakan tubuh menjadi ringan untuk kemudian benda yang teramat keras menghantam bagian muka dan dada bergantian. Hal terakhir yang saya ingat saat itu, saya melihat samar-samar kaki ummy dengan sandal jepit warna hijau di dekat kepala saya yang berlumuran darah dari hidung dan mulut, beliau berteriak, ‘…tang anak tadhak semateah arapah mik teppak ka Saiful se mateh..?!’ (anakku tidak ada yang mati kenapa mesti Saiful yang mati?!). Setelah itu semua tampak gelap dan suara yang tertangkap di telinga semua menjadi samar. Sayapun kemudian berusaha melafaldzkan dua kalimat syahadat…

Sebenarnya saat itu saya ingin bangkit dan berteriak pada semua orang bahwa saya baik-baik saja. Tapi justru seluruh tubuh tidak berfungsi. Sesekali saya merasakan tubuh seperti digotong, mendengar suara deru mesin mobil, wanita yang menampar pipi sambil menanyakan nama dan terakhir suara wanita seperti suara bibi’ Hj. Masturah yang bilang, ‘...ella Nik, ngara la tadek ongghu, la lok agulih..!’ (Sudahlah… mungkin benar-benar sudah meninggal, sudah tidak bergerak!).

Setelah sadar dari ‘kematian’ beberapa jam tiba-tiba saya lihat semuanya berubah menjadi putih, atap dan tembok  putih. Saya dapatkan tubuh saya terlentang tertutup kain putih. Baru saya berfikir bahwa saya mungkin memang sudah mati ketika saya menoleh ke kanan, terlihat wajah ummy menangis haru, di sebelah kiri saya melihat nenek (Ny. Hj. Maimunah) yang seakan kaget melihat saya tersadar dan langsung mengusap-usap kening saya. Dari sebelah atas kepala tempat berbaring, saya melihat tangan Ny. Kinanah yang hendak menyuapi saya pisang. Kepada mereka kemudian saya meminta cermin kecil. Di kaca cermin itu lalu saya melihat wajah dan hidung saya yang terlihat makin pesek dan membengkak, meraba sekujur tubuh tuk memastikan anggotanya masih lengkap setelah itu saya bergumam ‘alhamdulillah, saya masih hidup’. Ya! Saya benar-benar masih hidup! 
(Bersambung)


posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 10:06 AM  
0 Comments:
Post a Comment
<< Home
 
About Me


Name: Syaifullah Rizal Ahmad
Home: Nasr City, Cairo, Egypt
About Me:
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Your Comment