Thursday, October 20, 2011
SALAM 'SONGKEM' DARI CAIRO (2)

‘Dia Adalah Jimat keluarga’

Seperti telah disebut di atas, ummy hidup dengan cobaan yang tidak henti mendera. Tidak hanya berhenti pada saat ayah kami meninggal tapi datang bertubi-tubi jauh setelah itu. Yang paling menyedihkan dari semua cobaan itu adalah ketika adik terakhir kami terpaksa kehilangan kesempurnaan penglihatannya ketika bermain bersama teman-teman kecilnya. Sebuah benda tajam telah merusak retinanya.

Hal itu adalah pukulan berat pada ummy dan kami semua, ketika kami menyadari bahwa keindahan masa anak-anaknya tidak bisa dia nikmati dengan sempurna setelah itu. Semua orang bisa membayangkan betapa anak  yang baru berumur  5 tahun, yang seharusnya bermain dengan lucunya, harus dibiasakan akrab dengan ruangan rumah sakit yang pengap, jarum suntik yang membuatnya menangis ngeri tiap pagi-sore, perawat rumah sakit kelas miskin yang tidak ramah, erangan orang-orang sakit di kanan-kirinya selama berbulan-bulan dan akhirnya harus rela menjalani hidup dengan sebelah mata.

Saya masih ingat hari-hari musibah itu. Saya pertama yang melihat dia terbaring sembari memegangi sebelah matanya sambil berteriak kesakitan. Tak satupun orang menyadari bahwa itu adalah musibah besar dengan rasa sakit yang luar biasa. Alih-alih mau membantu, seorang bibi malah sering berkata sinis ketika mendengar adik kecil kami menangis kesakitan, ‘ ah.. mon Robi’ah lakar ampo ra.masarah! ‘ (Ah.. kalau Robi’ah memang sering berlebih-lebihan), tanpa dia sadari betapa sakit itu sangat luar biasa diderita anak yang baru berumur 5 tahun.

Karna keterbatasan biaya, ummy hanya memeriksakannya ke rumah sakit kecamatan dan hanya dianjurkan diolesi salep tiap pagi-sore. Tidak ada yang bisa dilakukan lebih dari sekedar olesan salep dan doa. Kondisi ekonomi yang sulit telah membuat takdir yang sangat pahit untuk adik terakhir kami yang sangat kami sayangi.Kemiskinan selalu melahirkan sikap pasif dan ketidakberdayaan. Kita tak pernah menyadari suatu hal kecuali setelah keadaan sudah sangat terlambat. Begitulah gambaran saat itu. Lebih dari seminggu dibiarkan tanpa perawatan, luka retina itu sudah sangat terlambat dan menjadi infeksi dan harus dioprasi. Ummy kemudian membawa ke rumah sakit Dr. Soetomo Surabaya, di rawat di sana lebih dari dua bulan.

Saya yang saat itu masih sekolah di MTs. Annamirah, Tanah merah, sering berangkat sekolah dari Surabaya, selepas menemani ummy menjaga adik kami di rumah sakit semalaman. Saya bisa melihat sendiri bahwa hal itu tidak mudah dihadapi oleh ummy apa lagi buat adik kecil kami itu. Saya sering menangis ketika melihat ekspresi wajahnya yang ketakutan ketika seorang perawat membangunkan tidurnya untuk kemudian menyuntiknya. Wajah lugu yang sebelah matanya terbalut perban itu terus terbayang-bayang di benak saya siang-malam. Kadang saya menangis sendiri saat berjalan kaki sepulang sekolah  di panas terik juga sering terbangun saat malam jika ingat musibah itu. Tidak ada yang bisa saya lakukan saat itu kecuali menangis dan berdoa. Saya merasa sangat sendirian, tidak ada yang bias diajak bicara masalah itu sementara yang terdengar dari tetangga, paman dan bibi hanyalah keluhan keputus asaan.

Kini, masa itu sudah bertahun berlalu. Adik kecil kamipun sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik dan cerdas. Sebentar lagi dia akan menjadi hafidzah al-Qur’an seperti mbaknya. Kami bersyukur dia tumbuh menjadi gadis yang percaya diri seperti yang kami inginkan.

Tidak ada satu bentuk sempurna dalam hidup. Dalam bagian terkecil pun dari diri pastilah terdapat ketidaksempurnaan. Kalaupun ada yang merasa iba dan berkata , ‘mengapa harus adik terkecil kami yang mengalaminya, mengapa tidak yang lain?’. Hal itu bisa diterima karna merupakan ekspresi kasih sayang yang besar terhadapnya. Lagi pula, tak satupun musibah yang mudah diterima dengan sabar, siapapun yang mengalaminya. Tidak ada yang harus disesalkan. Betapapun pahit kenyataan ini, hidup harus terus berlanjut dan dijalani dengan penuh gairah dan diterima sebagai anugrah. Ketidaksempurnaan tidak seharusnya jadi penghalang untuk melakukan yang terbaik dalam hidup. Setiap manusia diciptakan unik oleh Allah, beserta kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

Tugas kita sekarang terhadapnya adalah terus selalu memberikan dorongan moral dan memupuk rasa kepercayaan dirinya. Kita harus yakinkan bahwa dia tidak berbeda dengan orang lain, tidak lebih rendah tidak lebih tinggi. Apa yang bisa dilakukan orang lain juga bisa dia lakukan. Yakinkan dia, bahwa ketidak sempurnaannya tidak akan jadi penghalang untuk menjadi orang bermanfaat dan untuk mendapatkan masadepan yang cerah.. Kita harus berjanji akan selalu melindunginya, memberikan dan melakukan yang terbaik buat dia di masa depannya sekuat yang kita bisa. Yakinkan dia bahwa dia tak kan pernah sendirian, bahwa dia dikelilingi orang-orang yang sangat mencintainya dan akan berbuat apa saja untuk membahagiakannya. kita percaya bahwa dia adalah sesuai yang digambarkan Abah kita beberapa bulan sebelum meninggalnya; bahwa dia adalah jimat; penyelamat keluarga.


‘Kampong Randhah’ ; Kampung Para Janda

Ummy menyebut kampung kami, Parseh, sebagai kampung para janda. Disebut begitu dikarnakan banyak wanita seusia beliau di Parseh yang ditinggal mati oleh suaminya. Waktu  saya menulis halaman ini (Selasa, 19 April 2011, jam 3:20 waktu Cairo, Mesir)bertambah satu lagi seorang janda. Beliau adalah istri paman kami, H. Tabroni (Abu Tamam) yang meninggal dunia kemaren. Semoga Allah mengampuni segala dosanya dan menerima semua amal ibadahnya.

Sewaktu ummy sering menyebut kampung kami sebagai ‘kampong randhah’, saya tergelitik tuk mencari tahu penyebab mengapa para suami di kampung kami kebanyakan meninggal duluan dan tidak sebaliknya. Saya simpulkan setidaknya ada tiga penyebab –wallahu a’lam- mengapa Parseh menjadi ‘kampong randhah’. Pertama, umur para suami umumnya terpaut jauh dengan si istri. Sudah menjadi hal yang lumrah, bila suami menikah pada umur 30 misalnya, si istri biasanya masih berumur 20 bahkan ada yang 15 tahun.

Kedua, kebiasaan para suami merokok. Hampir tidak ada saya temukan laki-laki berumur di atas 25 tahun di kampung kami yang tidak merokok. Kebiasaan ‘membakar paru-paru’ ini sudah disepakati oleh semua peneliti di seluruh ‘jagat raya’ sebagai salah satu penyebab kematian. Ketiga, minimnya pengetahuan para orang tua kami tentang ilmu kesehatan. Misalnya mereka belum banyak tahu tentang kandungan satu makanan dan penyebabnya terhadap tubuh. Mereka hanya makan apa yang mereka punya dan apa yang mereka ingin. Kebiasaan itu berlangsung bertahun-tahun ditambah sikap mereka yang terlalu pasrah pada takdir hingga malas (takut?) memeriksakan kesehatannya ke dokter dengan alasan, kalau diperiksa dokter nanti semua penyakit malah ketahuan. Hal ini menyebabkan penyakit yang mereka derita tidak terdeteksi secara dini hingga diketahui nanti kalau sudah sangat akut dan sulit disembuhkan.

Yang penyayang pasti akan disayang


Di panas terik matahari sehabis dluhur itu, seorang perempuan berjalan dengan pelan menanjaki jalan berbatu di desa Patanak Tanah Merah. Di atas kepalanya dia membawa setengah karung ‘dheddhek’ (ampas gilingan beras). Dia berjalan dari desa Dangkapoh menuju kampung Parseh bersama beberapa temannya yang semuanya ibu-ibu. Sesekali ibu itu menyeka keringat di muka dan lehernya dengan tangannya. Sorot matanya meringis menandakan dia sangat kelelahan dan kepanasan

Di belakang ibu itu terlihat seorang anak kecil berbadan kurus berusia sekitar 12 tahun juga membawa beban di atas bahunya dengan susah payah. Untuk menghilangkan penat sesekali terdengar ibu-ibu itu berkelakar. Seorang dari mereka tiba-tiba berkata, ‘…Makkeh reng toah nas panas nyare engon deyeh, nak potoh gik ampo lok belles wa’ katoanah ta’ engghi nye?! (biarpun orang tua susah mencari nafkah seperti ini, anak belum tentu sayang kalau mereka dewasa, ya kan Nyai?). Mendengar itu, sang ibu tadi menjawab, ‘ yeh mandher nak potoh neserrah, lan reng sepponah berjuang kendi neserrah. Reng se neser bhakal ekaneserrah’. (Ya semoga saja anak-anak kita sayang sama kita. Orang tuanya sudah berjuang demi mereka. Orang yang penyayang akan juga disayang).

Kisah itu terjadi di satu hari di tahun 1996. Anak kecil kurus itu adalah saya dan ibu itu adalah ummy. Kami biasanya mengambil dheddhek untuk makanan ayam dan bebek dari desa Dangkapoh karna di sana ada tempat penggilingan beras yang besar dan ampasnya dibuang. Siapa saja boleh mengambilnya setelah penggilingan itu ditutup sehabis dhuhur. Kisah itu terjadi secara sederhana tapi sangat membekas di benak saya sampai saat ini. Satu kejadian pendek yang membuat anak 12 tahun seperti saya berfikir berhari-hari tentang  hubungan para orang tua di kampung saya dan anak-anaknya. Saya mencoba mencari penyebab mengapa mereka begitu menyesalkan sikap anak-anaknya yang sering melupakan orang tuanya ketika menginjak dewasa.

Anak-anak di desa kami biasanya pergi merantau sejak lulus sekolah dasar (Madrasah Ibtida’iyah). Mereka pergi mengadu nasib, meninggalkan rumah dan orang tuanya bertahun-tahun dan tidak pernah pulang jika merasa belum sukses. (dan sayangnya sangat sedikit dari mereka yang terhitung sukses). Berpisah dengan orang tua sejak masa labil membuat hubungan orang tua-anak tidak intim. Seorang anak di perantauan dengan senangnya mengatur hidupnya sendiri karna tanpa pengawasan. Rendahnya tingkat pendidikan membuat orientasi kesuksesan bagi mereka adalah mengumpulkan uang sebanyak mungkin. Sehingga mereka malu dan memilih tidak pulang kampung jika belum bisa membangun rumah dengan biaya ratusan juta.  

Selain membuat saya berfikir berhari-hari, kejadian itu pula yang pertama menyebabkan saya mulai memerhatikan satu persatu semua peristiwa –sekecil apapun itu- yang kami alami dengan ummy. Setiap peristiwa itu sedikit demi sedikit membuat saya dan kami bersepuluh berazam untuk selalu menyayangi ummy sampai batas kemampuan tertinggi.

Kami sebagai anaknya sangat faham hal itu. Semua kami rasakan dan perhatikan. Hingga bisa dikatakan setiap hal yang ummy alami dan kami perhatikan itulah yang menyebabkan kami secara luar biasa mencintai dan menghormati beliau. Tidak mudah menanamkan perasaan serupa di setiap keluarga karna hal ini membutuhkan pengalaman yang mendalam tentang memahami perasaan dan juga kesadaran.

Sikap menyayangi tidak hanya kami tujukan kepada beliau sebagai guru pertama di ‘sekolah pertama’ kami, kami secara turun temurun mencoba menanamkan perasaan itu dengan senantiasa bersikap terbuka terhadap semua anggota keluarga (tretan), sering bertukar cerita tentang semua permasalahan, mendengarkan keluhan masing-masing dan mencari solusi bersama, saling memahami perasaan masing-masing, saling membantu sedapat mungkin dengan kapasitas masing-masing.

Kami percaya, semua yang kami biasakan hari ini, akan menjadi kepribadian dan sifat-sifat yang akan melekat sampai mati. Sifat-sifat itulah nanti yang akan kami wariskan kepada anak-cucu kami. Kami tidak ingin mengulangi kegagalan orang-orang tua kami ketika memberi contoh ketidakdekatan (ketidakakuran?) antar sesama anggota keluarga sendiri.

Dengan tidak mengurangi rasa ta’dzim saya terhadap mereka, kami –sampai saat ini- masih bisa melihat dampak dan sisa ‘egoisme’ mereka pada sikap dan kehidupan paman-bibi kami. Kenyataan itu semakin menyesakkan dada apa bila ada masalah yang menyangkut keluarga maupun masyarakat, betapa kami melihat orang-orang tua itu berjalan sendiri-sendiri. Masing-masing bersikukuh pada pendapatnya. Mengunjungi rumah saudara sekedar untuk bercengkrama sangat sulit mereka lakukan. Penyebab semua itu tidak lain karna hal tersebut tidak pernah mereka biasakan sejak masa anak-anak. Saudara sendiri seperti dianggap orang lain. Mereka merasa malu kalau nanti dinilai terlalu akur sesama saudara. Oleh sebab itu, kebiasaan itu menjadi kepribadian dan berlangsung hingga mereka punya anak-cucu.


'Kare Sakerra’

Kata itu pertama saya dengar dari Man Tamhid untuk menggambarkan keadaan ummy kami yang tinggal sebatangkara. Seorang janda yang berjuang hidup membesarkan 10 orang anak. Saya percaya istilah itu bukan peyoratif, bahkan sebaliknya, diucapakan sebagai ekspresi kekaguman dan simpati.

Memerhatikan kehidupan ummy akan membuat siapa saja merasa simpati (bukan kasihan). Meski saya percaya bahwa kesuksesan ada dalam proses, dalam batas ini ummy bisa dikatakan orang tua yang sukses. Dalam cengkraman cobaan hidup yang mendera tanpa ampun, beliau bisa membuktikan bahwa takdir tidak boleh hanya ditunggu, takdir harus dijemput. ‘gelas yang ingin kita pecahkan tidak bisa hanya kita tatap tapi harus kita banting’.

Kesebatangkaraan ummy tidak menyebabkan beliau patah semangat untuk memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. Abah kami selalu menanamkan arti penting pendidikan pada anak-anaknya dan hal itu dlanjutkan ummy sepeninggal abah. Semua anaknya harus ‘ngajhih’ sesuai dengan keinginan abah. Dan tentunya konsep ‘ngajhih’ yang pernah diucapkan abah bukan melulu ‘ngajhih’ al-Qur’an dan ‘ketab’ saja tapi harus disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan zaman kini. Kami tafsirkan istilah ‘ngajhih’ versi abah sebagai semua sesuatu yang berhubungan dengan pendidkan.
(BERSAMBUNG)

posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 10:37 AM   0 comments
SALAM 'SONGKEM' DARI CAIRO (1)

UMMY

Ummy (ibu) kami bernama lengkap Masyrifah H. Anwar. Sesuai KTP-nya (mungkin juga ini tidak valid)beliau dilahirkan tahun 1962.

Tentu saja saya akan menempatkan beliau di urutan pertama. Bagi saya beliau bukan saja orang pertama dan utama tapi adalah wanita paling istimewa yang tidak ada nilai tandingnya. Seorang ibu yang tak hentinya menjadi inspirasi dalam hidup saya dan kami bersepuluh. Seorang wanita yang 'super-tegar' menghadapi berbagai permasalahan hidup yang pelik. Seorang yang tak hanya bisa bersandar diri pada takdir Allah (tawakkal) tapi juga mampu bangkit tuk mendapatkan hidup yang lebih baik.

Sulit dibayangkan di masa sekarang betapa seorang wanita dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah, menjalani masa kecil yang kurang membahagiakan, menikah di usia dini, melahirkan anak setiap dua tahun sekali selama dua puluh tahun dengan tingkat kesejahteraan di bawah rata-rata, kemudian ditinggal mati suami dan terpaksa menjadi single parent (orang tua tunggal) buat sepuluh anak-anaknya pada usia yang relatif muda. Bagi kami beliau benar-benar  ‘Masyrifah’:wanita yang mulya.


Masa Kecil dan ‘Desarmah

Umy bisa dikatakan tidak punya masa kecil yang beruntung. Dibesarkan dalam keluarga sangat sederhana  dengan anggota keluarga yang relatif banyak. Mata pencaharian penduduk di lingkungan desanya adalah petani tradisional yang hanya mengandalkan curah hujan hingga rawan paceklik (Madura:laep). Ditambah lingkungan desa pedalaman yang kotor menyebabkan banyak anak-anak seusianya yang mengidap penyakit kulit. Kalau musim kemarau makanan biasa waktu itu hanyalah nangka muda dan ketela pohong yang dicincang lalu direbus.

Menurut cerita beliau, ada waktu di mana abahnya sering menitipkan anak-anaknya pada keluarga yang lebih sejahtera (kebanyakan tinggal di Surabaya), hidup dan tinggal bersama orang-orang baru yang kemudian dianggap keluarga, sedang sang abah merantau mengadu nasib keluar daerah. Ummy beberapa kali pindah dari keluarga yang satu ke yang lainnya hingga akhirnya beliau belajar di pesantren (mondok) pada usia kira-kira 14 tahun.

Saperti kebanyakan wanita yang tinggal di desa pedalaman yang jauh dari sentuhan pembangunan, ummy tidak berkesempatan mengecap pendidikan yang layak. Cara berfikir orang tua di lingkungannya pada masa itu masih sangat konservatif (kolot). Anak perempuan tidak diperkenankan belajar di sekolah-sekolah negeri. Mereka hanya boleh belajar di pesantren (mondok), setelah dirasa bisa membaca al-Qur’an mereka dinikahkan dengan laki-laki yang sudah dipilihkan orang tuanya.

Beliau mondok di pesantren al-Badar, sebuah pesantren kecil tradisional di daerah Sidoresmo Surabaya. Sebagai anak yang tidak pernah mengecap pendidikan apapun sebelumnya, kehidupan pesantren terasa sangat asing bagi beliau. Beliau bercerita, di masa awal belajar pernah disuruh membaca al-Qur’an oleh gurunya tapi hanya berdiri mematung tanpa bereaksi sedikitpun meskipun sang guru sudah beberapa kali membentak menyuruh membaca.


Menikah Dini

Lingkungan dan masyarakat Parseh saat itu bisa dikatakan sangat tertutup. Tertutup untuk menerima pemikiran-pemikiran baru dan juga dari informasi baru. Sebagai wanita yang hidup dalam masyarakat tertutup ummy tumbuh menjadi wanita yang lugu dan penurut. Tidak genap setahun ummy belajar di pesantren, sang abah menikahkan dia dengan sepupunya sendiri yang bernama Ahmad Ali (kelak beliau memberi ummy 10 orang anak). Tidak ada pilihan lain bagi beliau saat itu kecuali menurut.

Jika dilihat dengan konteks masa sekarang, ummy menikah di usia yang dini; di usia belum genap 15 tahun. Orang tua masa itu (bahkan mungkin sampai saat ini) tentu saja tidak terlalu memikirkan masalah cinta karna bagi mereka cinta akan datang sendiri kalau sudah menikah. Sejauh ini, memang pemikiran seperti itu tidak ada salahnya, terbukti dari beberapa pasangan yang bisa bertahan meskipun dengan cara dijodohkan. Meskipun kita tidak bisa memastikan apakah yang membuat mereka bertahan itu karna cinta atau hal lainnya, hanya Allah yang paling mengetahui.

Ummy menikah dengan pemuda Ahmad, anak pertama pamannya sendiri, H. Ali. Sebagai anak pertama yang masih muda, dia masih suka keluar rumah tanpa pamit, berkumpul dengan teman-teman sebayanya di gardu pinggir jalan, nonton pagelaran musik di acara mantenan (orkes) dan pulang saat malam sangat larut. Seperti disebut di atas, ummy adalah istri yang lugu dan penurut. Beliau tidak sekalipun bertanya baik kepada suaminya atau mertuanya kemana suaminya sering keluar. Sampai saat suaminya menghilang tanpa pamit selama lebih dari dua bulan, beliau juga tidak pernah bertanya. Pada bagian mendatang akan diceritakan kemana H. Ahmad menghilang selama lebih dari dua bulan.


Hidup Yang Tidak Mudah

Bagi ummy hidup yang beliau jalani tidak pernah berjalan mudah dan menyenangkan. Hidup ini keras dan berliku penuh tanjakan. Tapi semua itu tidak pernah membuat beliau berputus asa ataupun mengeluh. Musibah yang terus menerus mendera bahkan semakin membuat beliau tegar dan arif. ‘Allah itu maha adil, apa yang Dia berikan buat kita itulah yang terbaik buat kita’, itu yang selalu ditanamkan ummy pada anak-anaknya.

Semenjak ditinggalkan oleh abah kami (pada 6 Mei 1996), ummy berjuang bertahan hidup tuk membesarkan dan mengasuh 10 anak-anaknya. Saat itu anak pertama dan keduanya (Nurul qomar dan Khairul Anam) sudah belajar di pesantren luar daerah sedangkan 8 sisanya masih di madrasah Ibtida’iyah di kampung sendiri. 
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya ummy berdagang dan berjualan. Pertama yang beliau lakukan adalah membeli freezer, membuat jajanan es dan camilan untuk anak-anak sekolah. Ide ini pertama kali diusulkan oleh H. Mahfudz, adik ipar beliau yang memang banyak membantu beliau. Karna menjadi orang pertama yang punya freezer di kampung kami, ‘bisnis’ kecil-kecilan ini berjalan bagus. Dari bisnis ini ummy bisa membayar biaya sekolah dan juga mengirimkan uang buat anaknya yang ada di pondok. Selain itu, ummy juga merenovasi rumah kami dengan bahan-bahan bangunan yang sudah dibeli oleh abah kami sebelum meninggalnya. Saya masih ingat, meskipun waktu itu musim kemarau panjang, ummy terpaksa melanjutkan rencana renovasi rumah karna khawatir bahan-bahan bangunan itu (bata dan kayu) akan rusak karna terlalu lama dibiarkan. Untuk urusan air, saya beserta teman-teman sebaya (Muzammil, Rushdi dan Ismail) mengambil air dari sumur ‘Jurghang’ (sekitar 1 KM di utara Parseh) dengan alat angkut sederhana yang kami sebut ‘gledek’. Biasanya kami berangkat jam 9 malam, bolak balik tiga kali sampai jam 3 malam dan kami lakukan itu dengan senang hati selama lebih dari satu bulan.


Kenapa Pesek?

Semua orang selalu memuji kesabaran ummy menghadapi cobaan dan juga kenakalan anak-anaknya. Hampir semua anak-anak ummy nakal di masa kecilnya, terbukti semuanya punya bekas luka di bagian bibir, kuping sampai dahi. Saya sendiri punya bekas luka yang sangat kentara di bagian dahi berbentuk kilatan. Ini adalah bekas luka tancapan gigi kakak sepupu (kak Badrun) ketika kami sedang bermain kejar-kejaran (benteng).
Selain itu saya pernah juga terjatuh dari pohon sawo dengan jarak ketinggian 13 meter, satu jarak tinggi yang bisa merenggut nyawa menurut perkiraan logika. Tapi alhamdulillah saya masih diberi kesempatan hidup sampai saat ini.

Hari itu hari Jum’at, ketika pengajian ibu-ibu muslimat di dekat rumah baru akan di mulai selepas Jum’atan. Saya naik pohon sawo itu di saat gerimis. Sejenak saya bisa melihat keindahan kampung Parseh dari puncak ketinggian ketika tiba-tiba terdengar cabang pohong yang patah. Saya merasakan tubuh menjadi ringan untuk kemudian benda yang teramat keras menghantam bagian muka dan dada bergantian. Hal terakhir yang saya ingat saat itu, saya melihat samar-samar kaki ummy dengan sandal jepit warna hijau di dekat kepala saya yang berlumuran darah dari hidung dan mulut, beliau berteriak, ‘…tang anak tadhak semateah arapah mik teppak ka Saiful se mateh..?!’ (anakku tidak ada yang mati kenapa mesti Saiful yang mati?!). Setelah itu semua tampak gelap dan suara yang tertangkap di telinga semua menjadi samar. Sayapun kemudian berusaha melafaldzkan dua kalimat syahadat…

Sebenarnya saat itu saya ingin bangkit dan berteriak pada semua orang bahwa saya baik-baik saja. Tapi justru seluruh tubuh tidak berfungsi. Sesekali saya merasakan tubuh seperti digotong, mendengar suara deru mesin mobil, wanita yang menampar pipi sambil menanyakan nama dan terakhir suara wanita seperti suara bibi’ Hj. Masturah yang bilang, ‘...ella Nik, ngara la tadek ongghu, la lok agulih..!’ (Sudahlah… mungkin benar-benar sudah meninggal, sudah tidak bergerak!).

Setelah sadar dari ‘kematian’ beberapa jam tiba-tiba saya lihat semuanya berubah menjadi putih, atap dan tembok  putih. Saya dapatkan tubuh saya terlentang tertutup kain putih. Baru saya berfikir bahwa saya mungkin memang sudah mati ketika saya menoleh ke kanan, terlihat wajah ummy menangis haru, di sebelah kiri saya melihat nenek (Ny. Hj. Maimunah) yang seakan kaget melihat saya tersadar dan langsung mengusap-usap kening saya. Dari sebelah atas kepala tempat berbaring, saya melihat tangan Ny. Kinanah yang hendak menyuapi saya pisang. Kepada mereka kemudian saya meminta cermin kecil. Di kaca cermin itu lalu saya melihat wajah dan hidung saya yang terlihat makin pesek dan membengkak, meraba sekujur tubuh tuk memastikan anggotanya masih lengkap setelah itu saya bergumam ‘alhamdulillah, saya masih hidup’. Ya! Saya benar-benar masih hidup! 
(Bersambung)


posted by Syaifullah Rizal Ahmad @ 10:06 AM   0 comments
About Me


Name: Syaifullah Rizal Ahmad
Home: Nasr City, Cairo, Egypt
About Me:
See my complete profile

Previous Post
Archives
Links
Your Comment